Komitmen dan Budaya Kepercayaan, apa manfaatnya?
Tiga bulan yang lalu, aku ditunjuk sebagai wakil koordinator divisi untuk sebuah acara dan dipasangkan dengan orang yang sama sekali belum aku kenal. Ya, mau gimana lagi? Aku cuma bisa menerima tugas dan mempercayai partnerku meskipun aku belum mengenalnya. Awalnya aku merasa ngga percaya kalau dia bisa kerja dengan baik, tapi lama-lama aku berkomitmen demi keberlangsungan acara kami untuk bekerja sama dan mempercayainya. Ternyata, hasilnya menakjubkan! Kami saling percaya satu sama lain dan seiring berjalannya waktu, perlahan tugas kami sebagai koordinator bisa terselesaikan dengan sangat baik. Benarkah bisa seperti itu bila cuma dengan rasa percaya?
Dua orang profesor Sekolah Bisnis di Stanford, James Baron dan Michael Hannan berteori bahwa cara bisnis memperlakukan pekerja dalam perusahaan, berakibat kritis bagi keberhasilan perusahaan tersebut. Selama bertahun-tahun, kedua profesor tersebut telah mengajarkan kepada mahasiswa bahwa budaya perusahaan sama pentingnya dengan strateginya. Mereka berargumen bahwa cara mengelola orang lain dengan baik dalam sebuah perusahaan adalah dengan menumbuhkan budaya saling percaya satu sama lain tidak peduli seberapa hebat produknya ataupun betapa setia konsumennya. Untuk membuktikan teori mereka, pada tahun 1994, dua orang tersebut mulai mengadakan proyek multitahunan terhadap industri perusahaan rintisan, dan pilihan jatuh pada perusahaan teknologi yang pada saat itu sedang menjamur di Silicon Valley.
Dari proyek tersebut, mereka menyimpulkan bahwa sebagian besar perusahaan memiliki budaya yang tergolong pada lima kategori. Kategori pertama adalah budaya yang mereka sebut model “bintang”. Di perusahaan tersebut, eksekutif mempekerjakan orang-orang terbaik dan memberi mereka kekuasaan yang besar. Mereka punya kantin yang asyik dan kegiatan-kegiatan seru. Kategori kedua adalah model “insinyur”. Tidak banyak individu bintang dalam model ini. Namun, para insinyur adalah kelompok yang memegang kekuasaan terbesar. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan perekrutan orang sebagian besar didominasi oleh para insinyur. Budaya yang berfokus pada insinyur sangat memungkinkan perusahaan bertumbuh pesat. Kategori ketiga dan keempat adalah model perusahaan yang menerapkan sistem “birokrasi” dan didirikan sebagai “otokrasi”. Dalam model birokratik, budaya terfokus pada manajer menengah yang jumlahnya banyak. Para eksekutif membuat deskripsi pekerjaan yang panjang lebar, diagram organisasi, dan buku panduan bagi para pegawai. Segala sesuatu dibuat secara tertulis, dan ada pelaksanaan rapat besar mingguan sebagai alat penyampaian nilai-nilai perusahaan kepada pegawai. Model otokratik mirip dengan model birokratik, yang membedakan adalah diagram organisasi, deskripsi pekerjaan, dan aturan bersumber dari satu orang, biasanya sang pendiri atau CEO. Kategori terakhir adalah model “komitmen”, yaitu di mana para pegawai dengan setia bekerja untuk satu perusahaan saja sepanjang hidupnya. Perusahaan komitmen sangat menghindari PHK kecuali bila tidak ada pilihan lain. Mereka sering kali memperjakan personalia profesional ketika perusahaan rintisan lainnya menggunakan uangnya untuk merekrut insinyur atau tenaga marketing. “CEO model komitmen percaya bahwa membina budaya yang benar lebih penting pada awalnya daripada mendesain produk terbaik,” kata Baron.
Selama beberapa tahun, Baron dan Hannan mengamati perkembangan perusahaan-perusahaan tersebut. Sebagian besar perusahaan tetap beroperasi selama tahun-tahun tersebut, sebagian mengalami kesuksesan besar. Tujuan mereka adalah melihat adanya kemungkinan bahwa budaya yang diterapkan di perusahaan berkorelasi dengan kesuksesan perusahaan tersebut. Sesuai dugaan mereka, perusahaan model bintang menjadi perusahaan yang mengalami kesuksesan terbanyak dalam penelitian tersebut. Namun secara tidak terduga perusahaan model bintang yang mengalami kegagalan tidak kalah banyaknya. Ternyata, menempatkan semua orang tercerdas dalam satu ruangan selain menghasilkan pengaruh dan hasik yang luar biasa juga menyebabkan seringnya terjadi persaingan internal. Mereka terfokus pada persaingan untuk menjadi bintang utama. Hal ini menyebabkan kecil kemungkinan bagi perusahaan untuk sampai ke tahap saham publik daripada kategori lain.
Baron dan Hannan menemukan pada datanya bahwa satu-satunya budaya yang merupakan pemenang konsisten adalah budaya komitmen. “Tidak satu pun perusahaan komitmen yang kami pelajari gagal,” kata Baron. Selain itu, perusahaan komitmen juga merupakan perusahaan yang tercepat memasuki bursa, memiliki profitabilitas tertinggi, dan cenderung lebih ramping dengan sedikit manajer menengah, karena bila memilih pegawai hati-hati, kita punya waktu untuk mencari orang yang pandai mengendalikan diri. Persaingan yang terjadi pun lebih sedikit karena semua orang berkomitmen ke perusahaan bukan ke agenda pribadi. Perusahaan ini juga mendeteksi pergeseran pasar secara lebih cepat karena mengenal konsumen dengan baik.
Salah satu alasan budaya komitmen dapat berhasil adalah dikarenakan munculnya rasa percaya di antara para pekerja, manajer, dan pelanggan sehingga semua orang bekerja lebih keras dan bertahan melalui masalah serta kesulitan yang menerpa perusahaan. Perusahaan komitmen menghindari PHK kecuali tidak ada pilihan lain dan berinvestasi besar pada pelatihan para pegawainya. Hal ini menyebabkan tingkat kerja tim dan keamanan psikologis lebih tinggi. Mereka lebih mengutamakan membuat pegawai bahagia daripada laba cepat, sehingga pegawainya cenderung menolak tawaran pekerjaan di perusahaan lain walaupun pendapatannya lebih tinggi. Para pelanggan pun tetap loyal karena hubungan yang telah terjalin bertahun-tahun. Perusahaan komitmen menghindari salah satu biaya terrsembunyi terbesar di dunia bisnis: laba yang hilang ketika pegawai membawa klien atau pengetahuan ketika pindah ke pesaing.
NUMMI, sebuah pabrik di California yang menunjukkan bahwa pekerja dan manajer bisa disatukan untuk tujuan yang sama melalui komitmen bersama dan pembagian kekuasaan adalah salah satu contoh mengenai apa yang bisa diraih organisasi ketika budaya komitmen mengakar. Di NUMMI, desentralisasi pengambilan keputusan membantu menginspirasi para pekerja untuk berani mengajukan solusi baru tanpa takut dihukum bila melakukan kesalahan. Para pegawainya bekerja dengan lebih cepat dan baik ketik percaya bahwa mereka memegang kendali dalam membuat keputusan dan ketika mereka percaya para koleganya berkomitmen terhadap kesuksesan mereka. Perasaan memegang kendali dapat mendorong motivasi yang akan menghasilkan wawasan dan inovasi baru ketika mereka tahu bahwa saran mereka tidak akan diabaikan dan kesalahan tidak skan dihukum.
Budaya komitmen dan saling percaya bukanlah kunci yang menjamin bahwa suatu proyek akan terjual atau suatu gagasan akan membuahkan hasil. Namun, budaya tersebut adalah pilihan terbaik untuk memastikan terciptanya lingkungan yang tepat untuk mewadahi gagasan besar. “Kesalahan adalah ketika tidak ada kesempatan bagi para pegawai untuk membuat kesalahan”.
Komentar
Posting Komentar